Selasa, 28 April 2015

Surat Untuk Sahabat

Cirebon, 28 April 2015

Hallo teman-teman semua!

Semoga surat ini sampai di tangan teman-teman yang selalu sehat dan tetap bersemangat menikmati hidup.

Keputusan untuk resign di 3 bulan masa menjadi Research Trainee di sebuah perusahaan market research multinasional di Jakarta memang merupakan keputusan yang sulit dan berat. Tapi, semoga ini memang yang terbaik.

Kali ini, saya ingin sedikit bercerita tentang kehidupan saya selama menjadi Pengajar Muda di Indonesia Mengajar yang ditugaskan di SD Negeri Waya, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Semoga teman-teman senang mendengar cerita ini.

Di minggu ketiga Pelatihan Intensif Pengajar Muda Angkatan VII, saya baru mengetahui di mana saya ditugaskan. Saat itu saya sudah pasrah. Di mana pun saya ditempatkan, saya sudah siap. Mau di ujung barat -- Aceh Utara, atau di ujung timur -- Halmahera Selatan, saya rasa sama saja. Saya tetap datang dengan niat yang baik.

Tepat di tanggal 21 Desember 2013, kami 52 Pengajar Muda angkatan VII diberangkatkan ke tempat penugasan masing-masing. Sekitar pukul 04.30 WIB pesawat yang membawa saya dan 7 rekan penempatan Halsel berangkat dari Bandara Soekarno Hatta. Dan setelah tiba di Ternate sekitar pukul 13.00 WIT dan melanjutkan perjalanan dengan Kapal Laut pada malam harinya, tepat pukul 05.30 WIT sampailah kami berdelapan di Kota Labuha, Ibu Kota Kabupaten Halmahera Selatan.

Kota? Ya, Kota! Labuha merupakan pusat kota di Pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan. Jangan bayangkan keadaan kota layaknya di Jakarta ya. Bayangkan saja seperti sebuah desa di kota terpencil di Pulau Jawa, mungkin itu akan lebih kelihatan seperti Labuha. Haha!

Di labuha, saya masih bisa melihat mobil dan motor yang masih hilir mudik; melihat beberapa bank beserta ATM-nya, berbagai instansi kedinasan,warnet dan pasar yang masih tergolong lengkap; listrik yang masih terjaga walau saat-saat tertentu masih tertidur; dan sinyal sebuah operator yang masih mumpuni untuk sekedar menggunakan aplikasi Whatsapp ataupun Line.

Tapi, Labuha bukan tempat di mana saya ditugaskan. Saya harus menempuh perjalanan lagi sekitar 75 menit untuk mencapai desa yang saya tuju dengan menggunakan akses kapal laut berukuran kecil (Motor LEN) yang saat itu hanya ada pada hari senin, kamis dan sabtu untuk menyeberang ke pulau sebelah yang bernama Pulau Mandioli tepatnya di Desa Waya, Kecamatan Mandioli Utara, tempat saya bertugas menggantikan pengajar muda sebelumnya, Panca Dias Purnomo yang telah bertugas selama 14 bulan.

Sebagai desa di pinggir laut, Desa Waya kaya akan ikan segar. Mayoritas penduduk di sini yang berasal dari suku Buton – Sulawesi Tenggara -- dan semuanya beragama islam-- bermata pencaharian sebagai nelayan. Berbeda dengan Labuha, listrik PLN di sini hanya terjaga mulai dari pukul 18.30 WIT hingga 06.00 WIT itu pun disertai dengan mati listrik di saat-saat tertentu yang mengakibatkan kami tidak bisa menikmati listrik seharian penuh. Sinyal sebuah operator sebut saja Telkomsel, hadir di spot-spot tertentu (seperti di dermaga, di atas jendela rumah, di lapangan sekolah, di kordinat tertentu di atas kasur dll) namun untungnya masih bisa saya akses sewaktu-waktu (tapi agak sedikit usaha sih nemuin spot yang pas, hehe).

Keadaan tersebut saya rasa dapat saya kendalikan karena sudah dibiasakan sejak masa pelatihan. Namun demikian, ternyata ada tantangan lain yang menjadi sorotan utama selama saya bertugas, yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan (masih ada orang tua yang mengajak anaknya ke kebun atau ke Labuha untuk bekerja di jam-jam sekolah), minimnya kehadiran guru PTT (Pegawai Tidak Tetap) karena tidak ditunaikan haknya berbulan-bulan lamanya, ditambah lagi dengan budaya berpesta (berjoget) dan mabuk-mabukan di desa yang menambah gairah ‘tantangan’ menjadi semakin ‘Sempurna’

Di awal ajaran baru yang baru saja dimulai awal Agustus lalu, saya harus rela mengajar kelas rangkap dari kelas 1,2,3,4 dan 6. Saat itu, hanya saya satu satunya guru yang masuk untuk mengajar. Ya, guru-guru yang lain belum masuk sekolah atau mungkin tidak mau masuk sekolah karena merasa status kepegawaiannya belum jelas. Saya sendiri masih memaklumi, karena mayoritas dari mereka bukan merupakan penduduk asli desa setempat dan membutuhkan pundi rupiah untuk sekedar menyambung hidup.

Beberapa kali saya dan teman-teman berkonsultasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Selatan mengenai nasib teman-teman guru saya. Namun nampaknya masih belum memperoleh titik terang. Walaupun demikian, saya pribadi masih melakukan usaha pendekatan secara personal agar para guru (minimalnya yang merupakan penduduk asli setempat) mau datang lagi mengajar di sekolah. Akhirnya, di minggu kedua, mereka mau juga datang ke sekolah J

_____


Mengajar dengan metode kreatif memang sangat menyenangkan. Kita bisa mengeksplor segala potensi yang dimiliki siswa sambil bernyanyi, bermain tokoh, menggambar dan puluhan macam metode lainnya. Namun kalau harus mengajar kreatif di beberapa kelas sekaligus dalam satu waktu, rasanya saya masih belum mampu. Terkadang, ketika saya sudah mulai ‘keteteran’ saya meminta bantuan kepada siswa kelas VI untuk menjadi Kakak Guru. Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok dan ditugaskan untuk mendampingi adik-adik kelasnya belajar. Satu hal yang selalu membuat saya selalu tersenyum dan tetap bersemangat berada di sini, yaitu semangat anak-anak untuk belajar.

Oia, di hari ulang tahun kemerdekaan RI ke 69 kemarin, saya dan siswa-siswi SDN Waya menyelenggarakan upacara bendera. Momentum ini benar-benar membuat saya memahami apa arti merdeka. Sesederhana membuat mereka dapat menyanyikan lagu Indonesia Raya, Mengheningkan Cipta dan Hari Merdeka dengan nada dan intonasi yang tepat. Haha!

Selepas upacara bendera, kami pun berramai-ramai melakukan pawai keliling desa. Sepertinya warga desa merasa senang sekali bisa mendengarkan lagu Hari Merdeka yang dinyanyikan oleh anak-anak. Maklum saja, sepertinya ini pertama kalinya setelah sekian lama Upacara Peringatan HUT RI tidak diadakan.

Setelah pawai, saya dibantu 3 rekan guru dan kelas VI menyelenggarakan lomba-lomba. Kami menyelenggarakan 6 mata lomba : Lomba Tarik Tambang, Lomba Gigi Leper (sendok kelereng), Lomba Estafet Pindah Air ke Botol, Lomba Cabut Koin yang sudah disematkan di Lemon (jeruk), Lomba Renang di Laut, dan Lomba Pukul Air di dalam plastik.
Kalian pasti bisa membayangkan kemeriahan anak-anak dan semangat mereka ketika berlomba. Hadiah sesederhana ‘sabun mandi’, alat tulis dan botol minum membuat mereka merasa sangat senang ketika memerolehnya, AH! SAYA SANGAT CINTA MOMEN INI!

Rasanya pengalaman saya selama setahun bertugas ingin saya ceritakan semua, tapi mungkin bisa berlanjut di lain kesempatan.

Menutup surat ini, saya ingin menyampaikan pembelajaran terbesar saya, yaitu mengenai pentingnya bersyukur. Bersyukur atas segala rahmat yang Tuhan berikan kepada kita. Saya belajar hal ini ketika tidak ada sedikitpun keluhan dari warga desa tentang tak adanya listrik di siang hari -- bahkan juga di malam hari, karena dengan demikian, kami bisa memanfaatkan listrik yang ada dengan sebaik-baiknya, bisa melihat jutaan bintang berkilau di malam hari dan bisa menikmati indahnya cahaya lampu poci yang menyinari sudut rumah. Saya belajar hal ini ketika tidak ada sedikitpun keluhan dari warga desa tentang sulitnya sinyal, karena mereka sadar, sebaik-baiknya komunikasi adalah yang langsung bertemu, dan bicara dari hati ke hati.

Semoga teman-teman pun senantiasa bersyukur atas apa yang Tuhan berikan.

Oia, sebagai informasi, rekruitmen Pengajar Muda Angkatan XI sedang dibuka hingga tanggal 31 Mei 2015. Jika teman-teman berminat ikut serta membagikan senyum kepada anak-anak di daerah penugasan, silakan mendaftar di situs www.indonesiamengajar.org


Oke, sepertinya sekian dulu surat yang bisa saya sampaikan. Semoga teman-teman tidak bosan membacanya.

Salam Hangat,


Muhammad Zakaria
Pengajar Muda VII Halmahera Selatan
Gerakan Indonesia Mengajar





After Parade, Perayaan 69 Tahun Kemerdekaan RI



Mendampingi Tim Gerak Jalan SD Negeri Waya


Berebut Koin dalam Lemon


Tarik Tambang


Who is the next? -- Lomba Pecah Plastik


Bersama Laskar SRAI SDN Waya


Pentas Musik ala Kelas VI SDN Waya


Bersama Bapak Hanafi (Kepala Madrasah Al-Khairaat), Bapak Riko (Wali Kelas V) dan Bapak Anwar Sabur (Kepala SDN Waya)



Minggu, 26 April 2015

We Just Do Nothing, But It Was Our Quality Time!

Rentetan ini menceritakan momen-momen di pagi hari, di Danau Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon.


Negeri di atas awan



Tak sengaja ter-capture



Di ujung dermaga (?)



Wefie Salah Background



Lagi, Wefie Salah Background



METAL!



Smile from the Kiddos



Saling Merangkul



Fokus (?)



The Team

Dikala Mentari Menyapa

Rabu, 14 Mei 2014

Bisa Hamilkah Pak?

Anak-anak memang sangat lugu. Saya teringat dengan percakapan di malam hari antara saya dengan beberapa siswa SMP yang sedang menikmati liburan. Ketika kami sedang berbincang mengenai pergaulan remaja, seorang anak bertanya:

"Pak, kalo anak laki lakinya belum mimpi basah, tapi perempuannya sudah menstruasi, apa bisa hamil pak kalo ...." sambil malu-malu ngelanjutin pertanyaan.

"Kalo Apa? Pada dasarnya, seorang anak perempuan bisa hamil kalau sudah mulai menstruasi, dan seorang anak-laki laki bisa menjadi bapak, ketika mereka sudah mimpi basah. Namun demikian, tetap saja, semuanya itu harus didahului oleh ikatan pernikahan loh ya" saut saya

Ah, percakapan itu membuat saya tersadar untuk mulai mengarahkan dan mengenalkan mereka mengenai hal yang mungkin dianggap tabu oleh sebagian orang tua, yaitu Pendidikan Seks Anak Usia Dini.

Dari percakapan tersebut, timbullah ide untuk bertemu Badan Urusan Perempuan untuk berkonsultasi mengenai pendidikan seks. Semoga saya memperoleh sisi terang ya. 

[Labuha, Halmahera Selatan, 12 April 2014]

Siang itu, sepulang dari mengajar, saya duduk di dermaga desa untuk melihat keadaan sekeliling. Keadaannya tidak berubah. Lautan luas terhampar, jernih, namun tidak begitu indah. 

Kemudian saya berpikir : Kapan ya bisa liat lautan bersih di Desa Waya? 

Dengan maksud mencari jawaban akan pertanyaan tersebut, saya memutuskan untuk mengajak anak-anak untuk menjelajah laut yang ada di depan desa dengan menggunakan koli-koli (perahu dayung). Saat itu, saya mengajak sekitar 6 orang anak untuk mendayung bersama. Dayung demi dayung kami lakukan. Sedikit demi sedikit kondisi air laut berubah. Tak jauh kami mendayung, terhamparlah lautan jernih dengan dihiasi indahnya ikan dan terumbu karang yang begitu cantik. Benar-benar pemandangan alam yang begitu menakjubkan.

Kemudian, ada seorang anak bertanya : "Apa Bapak senang?"

Saya sontak terkaget; dengan cepat saya langsung menjawab. "Tentu, bapak sangat senang"

Anak itu pun langsung menanggapi : "Wah, saya juga senang kalau bapak senang."

Saya meleleh. Begitu tulusnya mereka menemani saya. Bahkan terkadang, mereka tidak membiarkan saya untuk merasa kelelahan, mereka tidak akan membiarkan saya mendayung terlalu lama.

Dari peristiwa tersebut saya diingatkan untuk terus bersyukur, karena disekeliling saya, masih banyak orang yang menyayangi dengan ikhlas.

Tuhan, terima kasih untuk setiap detik berharga di desa ini.
Saya sangat senang, saya sangat menikmati, saya sangat tenang.

Biarlah tidak ada listrik, karena sesungguhnya dengan tidak ada listrik saya bisa melihat isi bumi ini dengan begitu nyata, bukan lewat televisi ataupun internet.

Biarlah tidak ada signal, karena sesungguhnya dengan tidak ada signal, dapat terjalin interaksi yang asli, sambil menatap muka dan dari hati ke hati.

Biarkanlah kami terus menikmati dan mensyukuri keindahan yang Engkau berikan.

Jumat, 09 Mei 2014

Foto Semangat untuk Siswaku!

Ujian Nasional sudah tampak di depan mata,
tapi kemana gurunya?

Walau saya tidak ada di Waya, tetapi hati dan doa ini selalu menyertai kalian, Nak :)



















Sampai bertemu di hari Ujian Nasional :)

Tiga Bulan Awal Beradaptasi

Penyambutan oleh Kepala Desa Waya

Hari-hariku kini sedikit berbeda. Tidak ada lagi suara patrick dan spongebob menyaut di pagi hari. Tidak ada lagi kicauan suara presenter berita di TV yang mengabarkan situasi terkini dari dalam negeri. Pagi hariku kini hadir dengan nuansa suara mesin kapal dan syahdunya kicauan burung di tepi dermaga.
Desa Waya, tempat di mana aku kini ditugaskan, merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Mandioli Utara, Halmahera Selatan dengan penduduk tidak lebih dari 700 jiwa. Kawasan pemukiman di desaku ini sungguh tidaklah luas. Tak perlu waktu yang lama untuk mengelilingi desa, cukup dengan dua puluh menit, aku bisa berkeliling desa.
Kehidupan pinggir laut yang membuat penduduk di sini tidak asing dengan limpahan ikan segar (ya, ikan segar, ikan yang baru saja ditangkap dari laut, bukan ikan yang sudah dibekukan berhari-hari) yang siap disantap dengan berbagai bentuk sajian.
Penyambutan oleh siswa siswi SDN Waya dan PAUD Bougenville
Sebenarnya, desa ini tidak jauh berbeda dengan pesisir desaku di Cirebon. Hanya saja di sini kondisi lautnya lebih  bersih dan tentu saja budaya maluku utara yang cukup kental. Ketika di Cirebon aku cukup akrab dengan kata ira dan isun, di sini aku sudah tidak aneh dengan kata kita ataupun ngoni/ngana.
Aku yang sudah tiga bulan menginjakkan diri di tanah maluku pun mencoba membuka diri untuk beradaptasi dengan lingkungan yang akan aku singgahi untuk satu tahun ke depan. Terkadang, orang-orang di sekitarku tertawa karena aneh mendengar apa yang aku ucapkan. Tapi, usaha yang ku buat tak akan pernah berakhir.
Piknik bersama warga kampung
“Pak Jaka, pi mana?”  Ucap seorang warga. Dan tepat sekali, aku hanya bisa melongo saat itu. “Ngoni pi mana deng tas?” Sekali lagi warga lain menanyakan. Dan responku kembali sama : “Hah?” sambil membuat tampang seolah bertanya apa arti dari kalimat yang dimaksud. Setelah bertanya, ternyata warga tersebut bertanya “ Pak Jaka, Mau pergi ke mana?” “Mau pergi ke manakah menggunakan tas?”. Setelah tahu apa arti yang dimaksud, aku langsung menjawab : “Oh, mau pulang ke rumah” Jawabku masih lurus. Berbagai kata dari bahasa maluku pasar pun sedikit demi sedikit aku pelajari. Kini, aku sudah berani untuk berbicara bahasa maluku walaupun hanya dengan siswa-siswaku. Aku tinggal bersama keluarga piaraku, sebutan untuk keluarga yang menerima seseorang dalam waktu yang cukup lama.
Aku tinggal di sebuah rumah di pinggiran dermaga. Di rumah, keluarga piaraku hanya ada mamah dan adik piara. Bapak piaraku sering pergi berlayar ke pulau seberang. Adik piaraku bernama sasti, namun kerap dipanggil dengan sebutan Kelle duduk di kelas lima. Sebenarnya mama piaraku memiliki 4 anak lagi, satu orang bertugas menjadi bidan di desa sebelah, satu orang lagi masih sedang menyelesaikan kuliahnya di Ternate, 2 orang menetap di Obi dan satu orang menjadi mahasiswa di Makassar.
Warga di desaku sangat ramah. Walau memiliki intonasi suara yang cukup keras, namun mereka semua sangat baik. Mereka ini jika dianalogikan seperti buah durian, Berduri di luar, namun manis di dalam.  Setiap sore, selepas mengajar di Madrasah Al-Khairaat, madrasah yang baru saja dibuka ketika aku mulai mengajar, atau setelah memberikan pelajaran tambahan untuk siswa kelas VI,  aku mencoba berinteraksi dengan warga sekitar. Aku memulainya dengan mengunjungi satu demi satu rumah muridku. Mereka menerimaku dengan sangat baik. Tak jarang juga aku disuguhi sagu dengan teh manis hangat. 
Beginilah keadaan desaku. Sebuah desa yang hanya dapat diakses dari Labuha (Ibu Kota Halmahera Selatan) menggunakan motor (kapal dalam bahasa maluku) setiap hari Senin, Kamis dan Sabtu. Desa kecil di utara Pulau Mandioli. Desa yang membuat aku sedikit menyesal karena tidak bisa berenang. Ah, sudahlah. Satu tahun ke depan, aku pasti sudah kembali sebagai perenang yang ulung (harapku).